Kalender Bali
Sunday, 6 January 2013
MANTRA DAN YANTRA
Memahami Pelaksanaan Yajna di Bali
oleh : IBG. Agastia
Memahami Pelaksanaan Yajna di Bali
oleh : IBG. Agastia
Dalam
Studi singkatnya tentang Pancayajna di India dan Bali (Pancayajnas in
India and Bali, 1975, Dr. C. hooykaas) telah membuat studi perbandingan
tentang dewayajna, Pitrayajna, manusayajna dan bhutayajna antara India
dan Bali dengan mengambil bahan sumber tertulis dan tradisi yang
berlangsung. Hoykaas melihat esensi pelaksanaan yajna tersebut tetap
sama.
MANTRA DAN YANTRA
Memahami Pelaksanaan Yajna di Bali
oleh : IBG. Agastia
Memahami Pelaksanaan Yajna di Bali
oleh : IBG. Agastia
Dalam
Studi singkatnya tentang Pancayajna di India dan Bali (Pancayajnas in
India and Bali, 1975, Dr. C. hooykaas) telah membuat studi perbandingan
tentang dewayajna, Pitrayajna, manusayajna dan bhutayajna antara India
dan Bali dengan mengambil bahan sumber tertulis dan tradisi yang
berlangsung. Hoykaas melihat esensi pelaksanaan yajna tersebut tetap
sama.
Yajna berasal dari bahasa Sansekerta, terbentuk dan akar
kata yaj berarti memuja, menyembah. Pemujaan atau penyembahan tersebut
ditumbuhkan untuk mencangkup aspek-aspek kehidupan yang beragam serta
aksistensi kehidupan sebagai suatu kesatuan. Secara sepintas yajna
terlihat sebagai suatu ritualistik, tetapi sesungguhnya di dalamnya
terkandung aspek sosiologis, kosmologis dan religio-filosofis.
Lewat
Gita dapat kita ketahui ada Yajna-Purusa, mahluk tertinggi yang
bertindak sebagai penguasa yajna. Awalnya Prajapati-Brahma, Tuhan
sebagai pencipta diidentifikasikan sebagai penguasa yajna. Namun
kemudian Beliau yang meresapi semuanya menjadi yajneswara, yajna bhrit,
yajna bhawana, yajna bhoktra, dan sebagainya. Dialah yang menenima semua
kewajiban dalam semua yadjna di seluruh jagat (Gita, V. 29; IX.23).
Maka kemudian timbul kesadaran. bahwa manusia harus melaksanakan yajna,
karena yajna-cakra adalah hukum kesemestaan yang tak dapat dihindari
oleh manusia. Tanpa melaksanakan yajna, manusia hidup sia-sia.
Selanjutnya
untuk masyarakat luas dirumuskan adanya panca mahayajna terdiri atas
dewayajna, pitrayajna, resiyajna, manusa yajna dan bhuta yajna.
Pancamahayajna tersebut sesungguh-nya adalah sebuah kesatuan, muncul
dari pemikiran tentang kesatuan semesta. Alam semesta adalah satu
kesatuan dan saling bergantung satu sama lain. Tidak ada benda mengada
sebagai eksistensi yang terpisah dari yang lain. Setiap orang bergantung
pada yang lain atas kelahiran fisik, eksistensi, pengetahuan dan
kebudayaan dan keperluan lainnya. Setiap orang dihubungkan dengan
Realitas Tertinggi yang satu dan sama. Tak ubahnya dengan
gelombang-gelombang ombak dengan samudera. Jadi, setiap orang pada
dasarnya berhutang budi pada yang lainnya dalam cara yang berbeda.
Adalah wajib bagi siapa saja untuk membayar utang (Rna) kepada yang
lain. Hutang-hutang tersebut adalah dewarna, pitrarna, resirna,
manusarna dan bhutarna. Panca Rna inilah melahirkan pancamaha yajna.
Begitu
sentralnya kedudukan yajna dalam agama Hindu, sehingga banyak hal
berhubungan dengan yajna seperti tapa, japa, mantra, mudra, yatra,
acara, upakara, diwasa dan yang lainnya. Demikian pula dengan yoga, dan
sang muput yajna sebagai seorang yogi. Hubungan satu dengan yang lainnya
diuraikan secara ringkas berikut ini.
YAJNA: Mantra dan Yantra
Dr. .R. Cons dalam disertsinya secara luas membahas kitab Bhuwanakosa, yang disebutkan sebagai tulisan teologi yang paling tua ditemui dalam tradisi jaya Kuna, memuat sloka-sloka Sansekerta, yang kemudian disimpan dan dipelajari oleh para pandita di Bali. Goris juga menjelaskan bahwa sejauh ini tulisan-tulisan teologi yang muncul kemudian, mengambil bahannya dan karya tertua bersifat Siwa-siddhanta tersebut.
Dr. .R. Cons dalam disertsinya secara luas membahas kitab Bhuwanakosa, yang disebutkan sebagai tulisan teologi yang paling tua ditemui dalam tradisi jaya Kuna, memuat sloka-sloka Sansekerta, yang kemudian disimpan dan dipelajari oleh para pandita di Bali. Goris juga menjelaskan bahwa sejauh ini tulisan-tulisan teologi yang muncul kemudian, mengambil bahannya dan karya tertua bersifat Siwa-siddhanta tersebut.
Menurut
Bhuwanakosa uraian penghargaan dan yang terendah sampai yang tertinggi
adalah: arcana, mudra, mantra, kutamantra, dan pranawa. Dalam
pelaksanaan yajna semuanya merupakan sebuah kesatuan. Yang
dimaksud arcana di sini adalah berbagai bentuk simbol-simbol keagamaan,
termasuk upakara (banten) dan juga yantra. Yantra umumnya berarti alat
untuk melakukan pemusatan pikiran, dapat berbentuk pratima atau mandala.
Yantra dapat berbentuk diagram, dilukis atau dipahatkan di atas logam,
kertas atau benda-benda lain yang disucikan. Yantra secara simbolik
adalah tempat mensthanakan Tuhan Yang Maha Kuasa. Bagi seorang pemuja
Saraswati aksara atau lontar/kitab adalah yantra. Di tempat lain daksina
(banten daksina), atau catur (banten catur) adalah yantra. maka Yantra
adalah alat sejauh itu berguna sebagai obyek untuk memusatkan pikiran,
tetapi sekaligus juga dapat menerima turuninya Dewa yang dipuja.
Mudra
berasal dari akar kata mud berarti “membuat senang”. Mudra diyakini
membuat Dewata yang dipuja senang. Terdapat 108 mudra, 55 di antaranya
yang biasa digunakan. Mudra yang dimaksudkan disini adalah sikap-sikap
ketika memuja, dilakukan dengan posisi tangan dan jari-jari tertentu,
termasuk sikap badan seperti dalam latihan yoga. Matsya mudra misalnya
dilakukan ketika mempersembahkan Arghya, yaitu dengan meletakkan tangan
kanan di punggung tangan kiri lalu direntangkan, seperti sirip kedua ibu
jari, dan sungu yang berisi air diandaikan samudera lengkap dengan
ikan-ikan di dalamnya. Di samping untuk menyenangkan Dewata, mudra juga
diyakini dapat memberikan siddhi, dan pelaksanaannya dapat memberikan
keuntungan bagi tubuh seperti kestabilan, kekuatan dan penyembuhan
penyakit. Mudra adalah hal yang sangat penting bagi para sulinggih di
Bali dalam pelaksanaan yajna (Kat Angelo, Mudra’s on Bali, 1992).
Setelah
mudra kita masuk ke dalam hal yang sangat penting yaitu mantra,
kuta-mantra dan pranawa mantra. Mantra yang disusun dengan aksara-aksara
tertentu, diatur sedemikian rupa sehingga menghasilkan suatu bentuk
bunyi, sedangkan aksara-aksara itu sebagai perlambang dari bunyi
tersebut. Untuk menghasilkan pengaruh yang dikehendaki, mantra harus
disuarakan dengan cara yang tepat, sesuai dengan swara (ritme) dan warna
(bunyi). Mantra itu mungkin jelas dan mungkin tidak jelas artinya.
Kuta-mantra atau wija-mantra, misalnya Hrang, Hring Sah, tidak mempunyai
arti dalam bahasa sehari-hari. Tetapi mereka yang sudah menerima
inisiasi mantra mengetahui bahwa artinya terkandung dalam perwujudarmya
itu sendiri (swa-rupa) yang adalah perwujudan Dewata yang dipuja. Untuk
memahami hal ini terlebih dahulu kita harus memahami proses lahirnya
mantra atau wijamantra itu sendiri.
Seperti halnya antariksa
gelombang bunyi dihasilkan oleh gerakan-gerakan udara (wayu), karena itu
di dalam rongga tubuh yang menyelubungi jiwa gelombang bunyi dihasilkan
oleh gerakan-gerakan pranawayu dan proses menarik dan mengelurkan
nafas. Shabda pertama kali muncul di muladhara-cakra dalam tubuh. Bunyi
yang teramat lembut yang pertama kali muncul di dalam Muladhara disebut
para, berkurang kelembutannya ketika sudah sampai di sanubari yang
dikenal dengan pasyanti. Ketika mencapai buddhi, bunyi itu sudah menjadi
lebih kasar lagi disebut Madhyama. Akhirnya sampai kepada wujudnya yang
kasar, keluar melalui mulut sebagai waikhari. Substansi semua mantra
adalah Cit, dengan perwujudan luarnya sebagai bunyi, aksara, kata-kata.
Maka aksara itu sesungguhnya adalah yantra dan aksara atau Brahman yang
tak termusnahkan.
Beberapa proses harus dilakukan sebelum mantra
itu dapat diucapkan, seperti penyucian mulut (mukha soddhana), penyucian
lidah (jihwasoddhana), penyucian terhadap mantra itu sendiri
(ashaucabhanga) dan lain-lain. Yang intinya segalanya dalam suasana
penuh kesucian.
Pranawa mantra adalah OM, yang merupakan intisari
dari semua mantra. Dan OM inilah merupakan intisari bentuk yajna atau
pemujaan. Om disthanakan oleh para sadhaka di dalam sari alam semesta
dalam wujud ghreta (susu), taila (biji-bijian, benih) dan madhu (madu).
Bentuk-bentuk upakara yang lain yang bahannya diambil dari isi jagat
(isin pasih, isin tukad, isin danu, isin alas dsb) yang kemudian
dijadikan yantra, dimaksudkan untuk dihidupkan, ditegakkan dan
dirahayukan kembali (winangun urip, panyegjeg jagat, bhuta hita,
jagathita, sarwaprani hita).
YAJNYA : YOGA DAN YOGI
Uraian singkat di atas telah menyiratkan bahwa pelaksanaan yajna atau pemujaan sesungguhnya adalah proses yoga. Mantra dan yantra misalnya adalah jalan bagi seseorang yogi untuk mencapai tujuan yoganya.
Uraian singkat di atas telah menyiratkan bahwa pelaksanaan yajna atau pemujaan sesungguhnya adalah proses yoga. Mantra dan yantra misalnya adalah jalan bagi seseorang yogi untuk mencapai tujuan yoganya.
Menurut
ajaran yoga tantris, sifat imanensi yang mutlak dalam semesta alarn dan
dalam diri manusia sebagai bagian dan semesta alam, dapat dibedakan
menjadi tiga bentuk: niskala (immaterial), Sakala-niskala
(materialimmaterial) dan sakala (material) Niskala dipakai dengan
bentuknya sebagai hakikat terdalam segala sesuatu. Dalam kaitannya
dengan yoga, niskala berarti lubuk hati seseorang, jiwanya yang paling
dalam. Yang mutlak bersifat sekala-niskala bila mulai terwujud dalam
hati seorang yogi, materialisasinya mencapai puncaknya, bila dalam
keadaan sekala yang mutlak menjadi objek pencerepan (persepsi) panca
indera, misalnya bersemayam atau bersthana (supratistham pinratistha) di
dalam sebuah benda yang disucikan (yantra). Dengan mengadakan
konsentrasi terus-menerus seorang yogi seolah-olah menghimbau yang
Mutlak untuk meninggalkan keadaan niskala-nya sehingga menampakkan diri
di hadapan mata batin dalam keadaan sakala-niskala sambil bersemanyam di
hati seorang yogi. Sang yogi lalu menarik Yang Mutlak ke atas,
meninggalkan tubuhnya lewat Siwadwara (sahasrapadma : bunga padma
berkelopak seribu), yang berada di dalam kepala, lalu menghimbau Yang
Mutlak bersthana di suatu benda atau tempat suci. Obyek ini lalu menjadi
sarana untuk mengadakan kontak dengan Yang Mutlak dalam keadaan yang
Skala, yang telah disthanakan di dalam Padmasana, sanggartawang dan
lain-lain.
Praktek yoga seperti inilah yang dilaksanakan oleh para
seulinggih, tepatnya para sadhaka. Maka seorang sadhaka adalah beliau
yang, melaksanakan sadhana. Di Bali sasana yang dipakai landasan disebut
juga dalam Wrehaspatitattwa, Tattwa jnana, Jnan sidhanta dan lain.
Antara lain diuraikan ajaran asthanggayoga terdiri atas Yama, Nyama,
Asana Pranayama, Pratihara, Dharma, Dhyana, dan Samadhi.
Jelasnya
seorang Sadhaka yang biasanya memimpin yajna adalah seorang Wrati,
beliau yang melaksanakan Wrata (brata). Brata banyak sekali jenisnya,
diantaranya yang penting misalnya ialah yang dilakukan pada han
Siwaratri, terdiri atas Upawasa, Mona dan Jagra. Brata diyakini akan
menghasilkan punya (kekuatan positip, dan dapat melenyapkan papa
(kesengsaraan).
Dengan demikian aktifitas yajna sesungguhnya
adalah praktik yoga. Yajna dilaksanakan pada hari suci (subha diwasa)
misalnya pada hari Tilem, Purnama; dilaksanakan pada suatu tempat
terpilih (tempat suci). Maka aktifitas yajna adalah sebuah totalitas
kesemestaan.
SAT CIT ANANDA
Yajna merupakn basis kehidupan yang antara lain menjadi sumber inspirasi dan kreatifitas umat Hindu. Maka yajna memberi kekuatan hidup; pikiran-pikiran segar dan suci senantiasa diperlukan dalam setiap kehidupan, pada setiap zaman.
Yajna merupakn basis kehidupan yang antara lain menjadi sumber inspirasi dan kreatifitas umat Hindu. Maka yajna memberi kekuatan hidup; pikiran-pikiran segar dan suci senantiasa diperlukan dalam setiap kehidupan, pada setiap zaman.
Pelaksanäan
yajna ditentukan juga oleh ruang dan waktu (desa-kala) lalu menyadarkan
manusia (patra) tentang posisinya di alam semesta alam raya ini, serta
hakikat dirinya yang merupakan putra Sang Abadi (Amretsyah Putrah).
Manusia dengan demikian membangun sifat tyaga (ikhlas) dalam diri,
melakukan pengorbanan bagi kerahayuan masyarakat luas, dan untuk
mencapai tujuan kehidupan yaitu Sat Cit Anandam.
Yadnya adalah jalan kesucian, karena dengan melaksanakan yajna sesungguhnya manusia menyucikan dirinya, dan menyadari bahwa hakikat dirinya adalah suci. Oleh karena itu tapa, yajna, kirti dan yoga yang merupakan jalan kesucian mendapat tempat yang sangat mulia dalam agama Hindu. [WHD No. 516 Desember 2009].
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Tri Sandya
About Me
Total Pageviews
16,171
0 comments:
Post a Comment